Jejak Rantau Fitri
Namanya Fitri Nisaul
Jannah, gadis kelahiran Aceh itu sedang menikmati makan siang di asramanya.
Makanan sederhana, nasi putih dan tempe goreng ditambah sambal pedas andalan
ibu minah yang sempat dibeli fitri ketika pulang kuliah. Tanpa harus
memberitahu ukuran cabe dan garam sambal yang diinginkan Fitri, wanita separuh
baya itu sudah sangat hafal selera makanannya.
Setelah mengisi perut
untuk menambah staminanya, Fitri melanjutkan tugas mengetiknya yang tertunda
semalam. Jari-jarinya yang lentik menari di atas keyboard labtop
kesayangannya, diikuti dengan suara khas ketikan sehingga membuatnya tambah
semangat untuk mengetik.
Sekilas gadis yang
kuliah di FKIP Unmuh Jember itu teringat dengan percakapannya dengan
Ustadzahnya dalam chat facebooknya ustadzah Zahra namanya, orang yang sudah
mengajarkan Bahasa Arab ketika di ponpesnya dulu. Terngiang dikepalanya
memikirkan pertanyaan gurunya itu mengapa harus kuliah jauh-jauh kuliah di
Jember dan kenapa tidak melanjutkan ke pesantren saja, toh di Aceh juga banyak
pesantren unggul yang bisa dimasuki Fitri. “Fitri ingin cari pengalaman di luar
ustadzah”. Cuma alasan itu yang mampu memberikan jawaban dari semua pertanyaan
ustadzahnya itu.
Fitri tetap melanjutkan
ketikannya dengan semangat meskipun bayangan pertanyaan yang mampu menggoyahkan
tekadnya untuk belajar ilmu pendidikan dari pada ilmu agama. Dalam pikirannya
tetap saja terpatri prinsip kalau ilmu agama bisa dia pelajari dimana pun, dari
buku, internet, atau dari teman-temannya yang masih belajar Agama di pesantren-pesantren
salafi, apa salahnya kalau bertanya hukum pada mereka toh tidak mungkin pula
mereka pelit ilmu karena ilmu agama memang harus di amalkan dengan memberitahu
jika ada yang bertanya.
“Tugas ngetik lagi?”.
Tanya Ami sambil melabuhkan tangannya di sandaran kursi tempat Fitri duduk
sembari mencoba membaca hasil ketikan Fitri di jendela labtopnya.
“Ia
begitulah...mahasiswa bahasa dan sastra memang harus begini, nanti kalau buat
cerpen atau novel tidak perlu susah lagi, ngetiknya sudah enteng, kan sudah
mahir ngetik..hehe”. Jawab Fitri dan mengalihkan pandangan terakhirnya dan
melanjutkan kerjanya.
Fitri yang kerap
berhubungan dengan kata-kata bahasa indonesia itu sangat menekuni jurusan yang
kata orang hanya jurusan sepele, tapi baginya jurusannya itu adalah jurusan
andalan baginya. Tidak peduli kata orang, menekuni jurusan yang ia sukai sejak
SD itu bukanlah hal yang sepele baginya, justru ia tambah mencintai dan
berharap nantinya ia dapat mengembangkan lagi ilmu yang sudah ia dapat dari
bangku perkuliahan.
Berasal dari suku yang
berbeda bukan penggalang baginya untuk mendapatkan banyak teman di tanah Jawa
itu. Justru perbedaan itu membuat teman-temannya kerap bertambah setiap harinya
karena kebagusan akhlak dan tata kramanya dalam berteman.
***
Meskipun bukan santri
lagi, namun Fitri tetap menyandang status santrinya dengan berpakaian muslimah
setiap keluar asrama dan hidup dengan teratur tak ubahnya seperti di pesantren.
Pengalamannya di pesantren akan selalu dia amalkan selama mendukung kemajuan
pendidikannya.
“Kamu selalu pakai
jilbab lebar dan tebal ini fit...apa gak kepanasan Fit?”. Tanya teman akrabnya
sambil berjalan dengannya menuju kampus.
“Kalau sudah biasa gak
panas lagi kok Vik...malahan kalau gak kaya gini malah tambah panas Vik soalnya
panasnya langsung ke kulit..hehe”. Cengir Fitri menjawab pertanyaan teman yang
sudah dianggapnya sebagai malaikat penyelamat baginya.
“Masak gara-gara itu,
Fitri mah gak serius jawabnya, siapa tahu aja kan aku yang selalu pakai jens
ini bisa tergoyah hatinya agar bisa berpakaian muslimah kaya kamu”. Protes
Vikra sembari mencubit kecil perut Fitri membuatnya harus sedikit menghindar
dan diselingi tawa kecil.
“Berpakaian kaya gini
itu tidak harus tunggu rahmat, wahyu, atau apapun namanya itu, semuanya dari hati yang siap untuk berubah, berhijrah ke
jalan yang lebih baik lagi. Pakaian untuk perempuan itu sebagai pelindung bukan
sebagai pembungkus”. Fitri terdiam sejenak sembari menunggu reaksi Vikra yang
dari tadi diam mendengarkan ucapan Fitri.
“Tapi kemarin, kamu
terlihat anggun vik memakai gamis
abu-abu yang kamu bilang sudah kuno itu”. Tambah Fitri mencairkan suasana.
“Yang benar saja. Kamu
tidak bohongkan. Jangan memujiku seperti itu. Aku memang sudah anggun dari
dulu”. Timpal Vikra dengan percaya dirinya.
“hehehe....”. Fitri
ketawa kecil setelah mendengar ucapan Vikra yang sudah ia tebak sebelumnya.
***
Kesibukan
kuliah dan mengerjakan tugas membuat Fitri kadang lupa memberikan kabar kepada
teman-teman yang sudah ditinggalkannya tepatnya di tanah rencong yang kaya akan
sumber daya alam itu. Kepenatannya dalam menjalani hidup di tanah rantau sering
membuatnya berangan-angan untuk bisa menghapus rasa itu dengan cara apa pun.
“Butuh
penyegaran” itu lah yang sedang di pikirkan Fitri saat itu. Tapi apakah bisa,
sedangkan dirinya sedang dalam situasi yang tidak memungkinkan. Tugas dari
masing-masing dosennya yang cukup banyak ditambah lagi Fitri harus mengajar
ngaji anak-anak TPA yang belum mahir membaca Al-qur’an setiap sorenya sesudah
shalat Ashar. Alasan yang kedua ini tidak mungkin ia tinggalkan karena itu
merupakan kewajibannya dan harus ia jalankan apa pun yang terjadi.
Kemahirannya
dalam mengajar dengan gayanya yang humoris sedikit banyaknya sangat membantunya
untuk menyampaikan pelajaran pada anak-anak didiknya. Semua anak-anak dalam TPA
itu juga sangat menyenangi cara Fitri mengajar dan membuat mereka tidak pernah
bosan untuk belajar agama.
Betapapun
Fitri menikmati kegiatannya sehari-hari, namun di pikirannya penyegaran otak
selalu ia pikirkan. Banyak yang mengajaknya untuk jalan-jalan ke pantai, tapi
gadis yang menyukai warna Biru itu tidak pernah tertarik. Dia ingin pemandangan
yang berbeda, karena di Aceh di sudah sering jalan-jalan ke pantai, sehingga
membuatnya bosan dan tidak ingin lagi melihat pemandangan yang sama.
“Pantai
di sini dan di Aceh kan beda Fit. Kamu pasti menyesal kalau tidak melihatnya
secara langsung. Aku sudah pergi kesana Fit, di Pantai Papuma itu indah. Serasa
kaya di Bali. Banyak batu-batu besar di pinggir-pingir pantainya. Ada juga yang
batuan yang mirip seperti topinya khas Aceh. Apa kamu gak tertarik untuk
melihatnya secara langsung?”. Bujuk Ami sembari memperlihatkan hasil
foto-fotonya yang sempat dia ambil minggu kemarin.
“Melihat
foto-foto ini saja aku sudah bisa membayangkan bagaimana tempatnya, sama saja
kaya di Aceh, ada pantainya, ada pohon kelapanya, ada perahu nelayannya, ada
rumah-rumah kecilnya, sama saja kaya di Aceh. Aku ingin pemandangan yang
berbeda jangan pantai lagi”. Jawab Fitri sambil mengembalikan foto-foto yang di
berikan Ami padanya.
“Emmmm...Kalau
gak begini saja Fit, kalau gak salah aku pernah di tawarin teman satu kelasku
untuk jalan-jalan ke kawah, kawaaah.....aduchh!! aku lupa nama kawahnya, tapi
untuk kesana perlu waktu yang lama Fit, setidaknya kita harus berangkat malam
dan mendaki gunung selama 3 km, untuk sampai ke kawah itu dan menyaksikan
matahari terbit dan pemandangan kawahnya itu yang tidak kalah bagusnya karena
air yang ada di atas kawahnya berwarna hijau kebiru-biruan. Gimana kamu
tertarik gak?”. Tanya Ami setelah menjelaskan panjang lebar tentang tempat yang
direkomendasikannya itu.
Fitri
tampak sedikit berpikir dahulu dan menjawab pertanyaan Ami. “Tapi aman gak
dalam perjalanan, soalnya nanti kita berangkatnya malam-malam dan apa semua
perempuan?”. Tanya Fitri penasaran.
“Ya
ampun Fit, kamu tenang aja temanku itu perempuan, dia juga wanita sholehah kaya
kamu tapi doyan jalan-jalan, gak mungkin lah dia bawa teman yang bukan muhrim dan
kabarnya dia juga sudah sering ke kawah itu, jadi Insha Allah selama dalam
perjalanan kamu akan aman karena dia sudah hafal betul jalannya”. Jelas Ami
meyakinkan Fitri untuk mau mendengarkan sarannya.
“Benarkah??
Kalau sepertti itu adanya, sepertinya aku mulai tertarik mi, tapi daerahnya
masih disekitaran jember kan?”. Tanya Fitri lagi.
“Tempatnya
itu perbatasan Banyuwangi dengan Jember. Oh ya aku baru ingat nama tempat
wisata itu Kawah Ijen. Gak terlalu jauh kok. Aku jamin kamu pasti gak akan
menyesal kalau sudah kesana, kalau kamu mau informasinya aku akan tanya lagi
deh sama temanku itu dan kamu bisa kenalan langsung dengannya”. Pungkas Ami dan
menarik bantal guling di dekat Fitri, lalu membalikkan badan melanjutkan tidur
siangnya.
Fitri
yang sudah terlena dengan kata-kata Ami tadi membuatnya melihat kalender yang
menempel di dinding tepat diatas kepalanya. Fitri mencari tanggal-tanggal merah
dan mencocokkannya dengan kegiatannya.
“Naahhh.....Pas
sekali, hari ini aku tidak ada jadwal ngajar ngaji karena jadwalku akan
digantikan ketua TPA untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada peserta didik
TPA Aripin”. Pungkas Fitri sesaat setelah meletakkan jari telunjuknya pada
tanggal 27 April itu.
Keyakinanya
untuk segera jalan-jalan ke Kawah Ijen sudah memberinya peluang. Dia tinggal
memprediksi berapa pengeluaran yang akan dihabiskan untuk jalan-jalannya kali
ini. Sembari mengingat-ingat sisa tabungannya, Fitri mulai menghitung uang yang
ada di dompetnya.
“Emmmm..sepertinya
cukup dan ada kemungkinan lebih. Alhamdulillah terima kasih ya Allah..tidak
sia-sia aku tabung semua gajiku mengajar. Toh semuanya bisa
dimanfaatkan..Hmmmm”. Gumam Fitri dengan nada girangnya ketika sudah mengetahui
jumlah keuangannya.
***
Hari itu Ami akan
mengajak Fitri untuk bertemu dengan temannya. Namanya Annisa, gadis sederhana
yang selalu berpenampilan muslimah disegala keadaan. Pertemuan itu lumayan
singkat dan Fitri sangat senang sekali bisa menambah teman, apa lagi temannya
Muslimah yang Sholeha seperti Annisa. Tutur bahasa Annisa yang lemah lembut dan
penuh makna membuat Fitri terpaku untuk mendengarkan tiap sisi kata-kata
Annisa.
Rencana sudah dibuat
Fitri tinggal berdo’a kepada sang Khaliq untuk diberikan kemudahan dan
keridho’an untuk perjalanannya. Hanya tinggal menunggu hari, Fitri yang tidak
sabar menanti hari Kamis tepatnya besok, ia mulai mengancang-ancang
barang-barang yang akan dia bawa ke Kawah Ijen. Diantaranya jaket yang tebal,
syal penghangat, kaos kaki, masker, minuman, kamera, mukenah dan makanan kecil
sebagai pengganjal perut nantinya.
“Seeehh... yang mau ke
gunung, lagi siap-siap ternyata ya”. Ledek Ami yang dari tadi memperhatikan
Fitri membersihkan tas ransel yang akan dia gunakan besok.
“Persiapannya itu mulai
sekarang to, biar nanti gak krasak-krusuk lagi nyiapinnya. Biar ndak terlalu
repot dan memakan waktu lama. Oh ya ngomong-ngomong kamu kenapa gak ikut saja
mi, biar kita lihat sama-sama gimana sih Kawah Ijen itu, kan seru jadinya”.
Jawab Fitri dengan logat Jawa, meskipun dengan ekspresi meledek yang
dibuat-buat sehingga membuat Ami tertawa terpingkal-pingkal.
“Hari Kamis aku harus
ikut seminar Fit dan itu wajib untuk mahasiswa jurusan Matematika. Soalnya
seminarnya itu tingkat Nasional. Kan rugi kalau gak hadir, kalau jalan-jalan ke
Kawah Ijen bisa direncanakan nanti Fit, Toh aku juga masih di Jember kan?”.
Jelasnya sambil memberikan tisu untuk mengelap keringat Fitri.
***
Tibalah saat-saat yang
dinantikan Fitri. Setelah menyiapkan berbagai keperluannya. Fitri hanya tinggal
menunggu jemputan dari rombongan Annisa. Annisa yang memilih membawa mobil
pribadinya untuk jalan-jalnnya kali ini tidak lupa mengajak teman-teman
perempuannya untuk ikut dengannya.
Fitri dipersilakan
duduk disamping Annisa yang mengendari mobil miliknya. Usai berkenalan dengan
teman-teman Annisa Fitri tidak lupa mengucap syukur karena Allah karena telah
menambah temannya lagi.
Perjalanan dimulai dari
pukul 10 malam. Annisa yang sudah terbiasa mengendari mobil pada malam hari
tidak membuat teman-temannya khawatir dengan hal itu. Annisa juga sudah
terbiasa tidak tidur selama mengendarai mobil meskipun keadannya malam hari.
Fitri sangat cepat
akrab dengan temat-teman Annisa, hal itu membuatnya semakin nyaman dalam
perjalannanya. Selain teman-temannya penasaran dengan daerah Fitri mereka juga kerap
bertanya dengan hukum-hukum agama yang selalu ditegakkan di tanah rencong itu.
Mereka sangat antusias mendengarkan cerita-cerita Fitri tentang aturan-aturan
di daerahnya yang tentunya tidak seketat aturan di sini tepatnya di tanah
rantau yang sekarang Fitri berpijak.
Banyak cerita yang
dipapar Fitri pada teman-teman barunya, begitu juga dengan teman-temannya itu. Membelah malam dengan mobil Annisa
semua sepi tanpa bicara hanya Annisa yang dengan cekatannya memutar kekiri dan
kekanan setir mobilnya.
Malam pun semakin
berlalu. Tepatnya pukul 1 malam. Annisa membangunkan semua teman-temanya. “Ayo
bangun kawan-kawanku, kita sudah sampai, kita istirahat sejenak, minum teh
hangat dulu, supaya nanti sewaktu daki kita ada stamina...” Ucap Annisa membangunkan
teman-temannya dengan nada lembutnya.
Semuanya sudah bangun
dan dan siap-siap beranjak ke warung yang tidak jauh dari tempat mobil Annisa
diparkir. Setelahnya mereka langsung siap-siap untuk menurunkan barang bawaan
mereka masing-masing karena pendakian akan segera dilakukan. Fitri yang yang
belum kembali dari toilet membuat Annisa berinisiatif untuk menyusulnya. Tepat
sebelum Annissa sampai di depan pintu toilet, Fitri sudah duluan muncul dari
pintu dan memberikan senyumnya yang manis pada Annisa.
“Aku kira , kamu masih
lama di dalam, kamu sakit perut kah?”. Tanya Annisa sembari merapikan syal
Fitri yang melingkar tidak rapi di lehernya.
“hehe..tidak kok nis,
aku cuma ganti baju saja dan menambah pakaianku. Ternyata disini lebih dingin
dari yang kubayangkan nis..sebelas dua belas sama kaya di Takengon, Aceh.
“Ada-ada saja kamu Fit,
di sini masih segini dinginnya bayangkan saja kalau kita sudah di puncak
kawahnya. Tentu lebih dingin lagi Fit..”. Jawab Annisa memberitahu Fitri.
***
Pendakian mulai
dilakukan. Selain Fitri, Annisa dan Ketiga teman-temannya. Ternyata ada juga
pendaki-pendaki lain yang tidak kalah semangatnya dengan mereka. Mengandalkan
senter kecil, setiap orang termasuk Fitri menapaki tanjakan gunung yang penuh dengan
tanjakan. Fitri sering mengajak teman-temannya berhenti sebentar untuk
memulihkan kakinya yang pegal. Setidaknya setiap 15 menit sekali, entah Fitri,
Annisa atau teman-temannya yang lain, akan mengisyaratkan berhenti hanya
sekedar istirahat untuk menghapus rasa letih dan capeknya pendakian. Namun semua
itu mereka jalani dengan semangat, diselingi tawa kecil untuk menambah energi,
mereka berjalan berlalu membelah malam dengan langkah pelan namun pasti.
Makin ke atas makin
dingin rasanya hawa pegunungan yang Fitri rasakan begitu juga dengan
teman-temannya. Fitri yang masih semangat menaklukkan gunung yang sedang ia
daki, di sela itu Fitri juga melihat ada orang yang mendorong gerobak kecil
berisi orang yang sudah lemas dan terbaring. Kala itu Fitri sempatkan bertanya
pada Annisa yang sedang berjalan di sampingnya.
“Orang itu kenapa
Nis?”..Tanya Fitri sambil melihat gerobak yang didorong orang tadi hingga luput
dari pandangannya.
“Orang itu yang gagal
dalam pendakian, mungkin tubuhnya terlalu lemah untuk melanjutkan, orang yang
mendorongnya itu nanti bayar sampai bawah
Fit, itu juga jasa namanya”. Jawab Annisa sambil menarik tangan Fitri
agar perjalanan dilanjutkan dan tidak tertinggal dengan teman-teman yang lain.
Tepat pukul 3, Fitri
melihat ke arah arloji yang dipakainya. Bau belerang yang khas mulai tercium
olehnya, Annisa dan juga teman-temannya yang lain. Kebetulan Fitri membawa dua
masker lagi di kantong jaketnya segera ia pakai lagi agar bau belerang tidak
terlalu menyengat indra penciumannya. Bukan hanya Fitri teman-temannya juga
melakukan demikian, mereka juga membawa masker lebih untuk jaga-jaga.
Hal-hal yang ditunggu
sudah tiba. Mereka semua sudah sampai di puncak Kawah Ijen setelah melewati
jalan-jalan terjal, kecil dan penuh tebing disampingnya. Sebuah pemandangan
yang sangat indah tepat di depan mata mereka, setelah mereka tiba di atas
puncak mereka langsung melaksanakan shalat shubuh berjama’ah dengan
mengandalkan tayamum untuk bersuci, karena di atas puncak tidak tersedia air
yang cukup untuk berwudhu. Mereka menyaksikan matahari terbit. Kemudian mereka
juga menikmati pemandangan awan putih yang tebal menutupi gunung-gunung kecil
di lereng Kawah Ijen itu, mereka juga menikmati pemandangan warna air yang
hijau kebiru-biruan yang berada tepat dimulut kawah tesebut. Sungguh pemandangan
yang belum pernah Fitri disaksikan sebelumnya. “Subhanallah..Indah sekali ya
Allah....sungguh menakjubkan alam yang Engkau ciptakan ini”. Gumam Fitri sesaat
setelah melakukan sujud syukur.
Tidak lupa mengabadikan
momen dan tempat yang mereka nikmati saat ini. Fitri dan teman-temannya berfoto
bersama, saling selfi dan dan ada juga foto bersama dengan semua teman-temannya
yang dibantu oleh orang yang kebetulan lewat di sekitar mereka.
Setelah Fitri
memperhatikan ternyata bukan kaum muda saja yang berhasil naik ke puncak Kawah
Ijen, ternyata kaum tua juga tak kalah hebatnya, selain pribumi warga turis
juga sangat banyak yang berkunjung ke sana. Sesuatu yang membuat Fitri merasa
aneh, meskipun dinginnya hawa di sana, namun para turis itu tidak memakai jaket
sama sekali. Apakah mereka sudah kebal dengan hawa dingin seperti ini, itulah
yang ada dipikiran Fitri saat itu, meskipun harus menempuh perjalanan yang
tidak gampang akan tetapi semua kepenatan mereka sudah terbayar dengan
pemandagan indah yang mereka saksikan saat itu.
Setelah puas berfoto
dan menikmati pemandangan, hari mulai panas namun hawa disekitar sana masih
dingin, mereka bergegas akan turun. Tepat pukul 10 pagi mereka sudah berpijak
di jalan yang tadi malam mereka lalui, menikmati angin gunung yang menyejukkan
mereka tidak lupa mengabadikan momen itu. Kapan lagi berfoto dari atas gunung
dengan latar belakang bukit-bukit kecil dibawahnya. Banyak pohon-pohon kering
disamping mereka berjalan. Tak ubahnya seperti di negeri dongeng pemandangan pohon-pohon
tanpa daun, warna keseluruhannya hitam, pohon-pohon yang hampir mati itu masih
tetap kokoh meskipun diterpa angin gunung yang sangat kencang.
Ditengah perjalanan
mata Fitri tertuju pada batu kuning yang diukir membentuk tulisan Allah dan
Basmallah dengan indahya. Batu kuning itu ternyata belerang yang dipahat
sehingga membentuk sedemikian rupa. Fitri langsung menuju ke tempat orang yang
menjual ukiran belerang itu. Sebelum sampai kesana, penjual ukiran itu langsung
memberitahu dan mengajaknya untuk melihat-lihat.
“Yang ini berapa pak?”.
Tanya Fitri sembari melihat-lihat macam-macam ukiran yang disediakan di atas
papan panjang.
“Semua hanya lima ribu
saja mbak, dipilih aja mbak yang mana sekiranya suka, disini juga masih banyak
kok?”. Jawab laki-laki separuh baya itu dan menunjukkan karung berisi ukiran
belerang yang sudah diukir.
“Bungkuskan yang ini
saja pak, saya beli satu saja?”. Fitri menunjuk belerang dengan ukiran
Basmallah.
Usai penjual itu
membungkus Fitri langsung mengucapkan terima kasih dan melanjutkan perjalanan
untuk menuruni gunung yang ia daki semalam. Kakinya mulai terasa sakit, tetapi
Fitri tidak menghirakan. Toh nanti juga sembuh sendiri kalau sudah sampai di
asrama.
Akhirnya mereka sampai
di kaki gunung, tak lupa mereka juga mengabadikan dalam sebuah foto pada
tulisan Kawah Ijen. Mereka langsung menuju ke warung yang mereka singgahi
semalam dan memesan makanan. Mereka sudah sangat lapar dan tidak sabar lagi
untuk menikmati teh hangat dalam hawa dingin yang jarang sekali mereka
dapatkan. Sesudah kenyang, Fitri dan keempat temannya langsung menuju mobil dan
pulang dengan membawa pengalaman yang sangat mengesankan.
Berikut Link Judul-judul cerpen tentang merantau, klik aja sobat!!